"Coba bayangkan, andaikata segala sesuatu itu ukurannya adalah “kepentingan” maka di mana letaknya moral, etik dan adab?"
Salam
bahagia, sahabat Solidaritas Nusantara
Bro
dan Sis yang selalu dalam Rahmat dan nikmat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hari
ini, “ Saya Peduli” kepada kita semua. Saya memang bukan siapa-siapa.Yang saya
miliki hanya rasa peduli. Saya takut dan cemas bilamana manusia kehilangan rasa
peduli di ruang dadanya. Kalau rasa peduli menyempit, maka mari kita perluas
dengan hati yang lapang.
Ruang
hati yang sempit itu salah satu penyebabnya adalah “ selalu mengutamakan
kepentingan pribadi”. Ruang hati yang sempit terjadi karena kita berbuat dan melakukan
sesuatu karena “ada udang di balik batu”. Ruang hati yang sempit karena kita
menjauhkan diri dari segala ketulusan atau keikhlasan.
Akibat
ruang hati yang sempit adalah “matinya” rasa “peduli”.
Kematian
rasa peduli akan membawa kita pada kecelakaan sosial yang memilukan.
Bila punah rasa peduli, maka tiap apapun yang kita lakukan
selalu “berbayar”. Seperti kalimat, tak ada makan siang yang gratis. Ini adalah
akibat kepedulian yang lenyap.
Kepedulian
yang lenyap itu tercermin pada kalimat yang sering kita dengar di tengah
kehidupan publik, yakni “Tak ada kawan dan musuh yang sejati yang ada adalah
kepentingan yang abadi .
Coba
bayangkan, andaikata segala sesuatu itu ukurannya adalah “kepentingan”
maka di mana letaknya moral, etik dan adab?
Coba
bayangkan, ketika kita ada kepentingan, jalinan perkawanan sungguh terasa kuat.
Tapi, ketika sang kawan tak lagi kita butuhkan, tak lagi ada kepentingan kita,
maka dia kita depak dari kehidupan. Itulah nilai-nilai perkawanan tanpa
ketulusan dari para manusia yang mengutamakan kepentingan belaka.
Begitu
juga sebaliknya, dulu musuh bebuyutan.Saling bencinya berlebihan.Namun, ketika
dipertemukan oleh kepentingan yang sama, mereka mendadak seperti sahabat
sejati. Padahal yang sejati itu adalah “Kepentingan” doang. Di saat penting
didekati, tak penting didepak saja.
Apakah
begitu?
Sehingga,
tempat kepentingan menjadi tinggi. Kepentingan menjadi ukuran murni kehidupan.
Kepentingan mengalahkan prinsip.Kepentingan melemparkan segala rasa
kemanusiaan.
Maka,
sampaikanlah “Saya Peduli”. Bukan karena kepentingan. Tapi adalah karena saya
peduli, saya punya hati, saya punya pikiran, saya punya sikap.Sikap kepedulian
sosial yang harus kita budayakan, demi menciptakan rasa damai di bumi yang
indah permai.
Untuk
menjadi saudara, tak harus bersulam tali darah.Untuk menjadi saudara dan
sahabat dalam perkawanan abadi tak harus beralas kepentingan. Untuk “Saya
Peduli” alasnya satu saja : Hati yang tulus bukan pikiran yang bulus!
Salam
Solidaritas…(*)
Catatan
Tentang Penulis:
Syarifuddin
Tanzil adalah Caleg DPR RI dari Partai
Solidaritas Indonesia (PSI), Dapil Jawa Tengah II yang meliputi Demak, Kudus
dan Jepara. Nomor Urutnya 1.